Senin, Maret 11, 2019


Sinergi Media Massa dan Media Sosial



Masih ingat Pak Amir? Sosok fenomenal yang baru-baru ini membuat geger dunia media sosial (medsos) karena tingkahnya yang di luar kebiasaan. Mengaku berjalan kaki dari Sumatera, mengunjungi ibunya yang berada di Banyuwangi (Jawa), sebagai nazar atas kesembuhannya dari sakit yang dideritanya. Entah siapa yang pertama kali memulainya, yang jelas jagat medsos ramai memberitakannya hingga mengundang simpati. Tidak hanya pernyataan dukungan di medsos, warganet dan pegiat medsos ikut memberikan dukungan dalam bentuk tindakan nyata, mulai dari mengawal perjalanannya, memberi bekal perjalanan, hingga memberikan sedekah ala kadarnya. Bahkan, aparat keamanan pun ikut menunjukkan dukungannya dengan memberikan pengamanan atas perjalanannya. Singkatnya, dalam waktu sekejap ia berubah menjadi selebriti medsos karena perilaku yang tidak biasa itu.

Belakangan kemudian dunia medsos pun ramai dengan berita yang meragukan kebenaran perjalanan Pak Amir itu. Ada sebagian pelaku medsos yang mengungkap berbagai bukti bahwa perjalanan Pak Amir yang katanya dari Sumatera ke Jawa itu bohong belaka. Medsos pun mulai ragu. Sebagian percaya kabar itu, tapi tidak sedikit yang mencibir. Akhirnya, keraguan itu pun terkuak oleh medsos sendiri, dengan mengunggah pernyataan Pak Amir bahwa apa yang ia lakukan memang bohong. Setelah itu, kasus ini selesai.

Kejadian ini menunjukkan betapa medsos mampu menjadi kekuatan dalam memusatkan perhatian publik akan suatu hal. Tidak hanya kemasifannya, namun juga kecepatannya yang mampu menjadikan segala hal menjadi pusat perhatian masyarakat. Fenomena Pak Amir ini menunjukkan begitu kuatnya medsos menjadikannya perhatian publik dalam waktu singkat. Tapi, dalam waktu singkat pula medsos mampu mengakhiri sendiri isu yang diangkatnya. Setelah itu selesai.

Dalam banyak hal medsos seolah menjadi kekuatan baru dalam dunia informasi. Sebelum hadirnya internet dan medsos, informasi relatif dikuasai media massa (pers) dalam bentuk media cetak (koran, majalah, tabloid) maupun elektronik (televisi, radio). Publik seolah menjadi subjek pasif saja bagi media massa dalam mengkonsumsi informasi. Namun, begitu medsos hadir, kekuatan masif dalam pengelolaan informasi mulai bergeser dari pers ke media sosial meskipun tidak mutlak. Dalam banyak hal, medsos bahkan menjadi pengimbang media utama dalam penyajian informasi. Masyarakat yang menjadi pelaku media sosial kini justru dapat menjadi pengontrol media utama. Jika media utama tidak hadir dalam penyajian informasi publik, medsoslah yang menjadi alternatif.

Fenomena medsos ini dapat menjadi ancaman sekaligus peluang bagi media massa. Menjadi ancaman jika media massa tidak mampu memenuhi ekspetasi masyarakat dalam mendapatkan informasi yang benar. Karena kemudahan dalam mengakses informasi, para pelaku medsos mampu menjangkau sumber informasi secara mandiri dan menyebarkannya untuk menjadi isu bersama. Dengan langkah ini medsos justru dapat mengontrol pers. Namun, ini juga menjadi peluang bagi pers jika mampu mensinergikan kerja medsos dengan pola kerja yang berlaku bagi pers. Kerja pers sesungguhnya menjadi lebih ringan dalam pengelolaan informasi. Sinergi antara pers dan medsos dapat menjadi kekuatan dalam penyajian informasi yang cepat dan akurat.

Satu kelemahan yang dimiliki media sosial adalah ketidakmampuannya dalam menjamin akuntabilitas informasi yang disebarkannya. Sehingga, dengan sendirinya medsos tidak mendapat legitimasi sebagai pembawa berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Publik akan resisten terhadap informasi yang diperoleh dari medsos. Hal ini dapat dipahami mengingat pelaku medos adalah pribadi-pribadi  dengan berbagai latar belakang, termasuk tingkat literasi medsosnya. Literasi ini menjadi penentu kualitas informasi yang disajikan medsos. Dalam banyak kasus, medsos justru menjadi tempat subur bagi tumbuhnya hoaks (hoax) atau berita tidak benar/palsu.

Sebaliknya, perusahaan pers memiliki prosedur tersendiri dalam pengelolaan informasi. Prosedur ini menjadi penentu kualitas informasi yang dihasilkannya. Selain menjadi tuntutan ideal, pers sangat berkepentingan dengan akurasi informasi yang disajikannya. Sebab, jika pers tidak menyajikan informasi dengan benar, reputasinya akan turun di mata publik, lebih-lebih di era medsos ini. Dari segi komersil, hal ini tentu akan sangat merugikan perusahaan pers.

Sinergi antara pers dengan medsos menjadi cara yang ideal dalam rangka menyajikan informasi yang benar, dan tentu saja untuk mendukung bonafiditas pers itu sendiri. Informasi yang menjadi isu publik melalui medsos dapat segera ditangkap dengan membuat forum resmi yang diprakarsai pers. Inilah kekuatan lain pers. Ia mampu menghadirkan ruang resmi dan mendapat legitimasi untuk menjadi penyambung aspirasi publik. Dengan demikian, isu publik yang semula diragukan kebenarannya akan memperoleh legitimasi sebagai informasi yang dapat dipertanggugjawabkan.



Mohammad Fadil

Instruktur di UPT Bahasa Universitas Jember dan pegiat medsos
=========================
Isi tulisan ini sudah dimuat di Harian Radar Jember, 11 Maret 2019. Ucapan terima kasih kepada Mahbub Djunaidi atas segala masukannya yang memperkaya wawasan saya akan dunia pers..



Minggu, Juni 15, 2008


Kalau kita mendengar kata nikmat, tentu kita akan membayangkan segala hal yang menyenangkan, indah dan membuat hidup menjadi sejahtera. Kita memakan makanan yang lezat sehingga membuat lidah kita merasakan suatu hal yang menyenangkan dengan nikmat itu Begitu banyak nikmat yang telah diberikan Alloh kepada kita semua dalam segala hal. , mulai dari saat kelahiran kita hingga dewasa, mulai dari nikmat memperoleh makanan dan minuman hingga mengolahnya menjadi energi dalam tubuh kita.

Bahkan saat ini pun ketika kita duduk di majelis ini mampukah kita mengamati dan menghitung berapa kali jantung kita berdetak dari waktu ke waktu, berapa kali udara keluar masuk melalui hidung kita dan diproses di dalam paru-paru, berapa juta bahkan milyar sel darah kita yang mengalir dalam tubuh kita setiap saat, yang semuanya itu membuat kita berada dalam kondisi sehat yang kita alami setiap saat. Tidakkah kita bayangkan, saat ini ketika kita duduk di majelis ini, banyak saudara kita tergolek dan terbaring lemah di rumah sakit menghadapi penyakit dan rasa sakit mereka, bahkan beberapa di antaranya kemudian tidak mampu menghadapi serangan penyakitnya itu hingga menemui ajalnya. Saat ini, ketika kita duduk di majelis ini, banyak saudara-saudara kita yang masih harus berkeliling, berjualan, menawarkan jasa di jalan-jalan, bahkan ada juga yang harus mengais-ngais sampah dan tidur di kolong-kolong jembatan demi sesuap nasi yang diharapkan dapat menyambung hidup mereka. Mereka tidak seberuntung kita, karena kita masih mampu datang di majelis ini.

Tidakkah kita berpikir bahwa inilah karunia Alloh yang begitu hingga kita tidak mampu menghitungnya. Demikian besarnya nikmat Alloh kepada kita, namun Alloh tidak meminta kita melakukan hal-hal yang berat untuk kita. Alloh hanya minta kita melakukan satu hal untuk kita yaitu menyembah-Nya, mengabdi kepada-Nya dalam berbagai bentuk dan tata cara yang sudah ditetapkan. Kita mendapatkan nikmat harta, namun Alloh hanya minta kita menyisihkan 2,5% saja untuk zakat. Kalau kita umpamakan kita memperoleh Rp 100.000,00, maka kita hanya diminta menyisihkan Rp 2.500,00 untuk kita berikan kepada fakir miskin sebagai zakat. Itupun kalalu kita mampu. Jika tidak, atau kita masuk golongan fakir miskin, malah kita berhak memperoleh zakat itu. Kita mendapat nikmat waktu 24 jam sehari dalam hidup kita, namun Alloh hanya minta 5-10 dari waktu itu untuk melaksanakan ibadah sholat wajib 5 waktu. Kalau kita umpamakan sholat kita rata-rata 10 menit, maka untuk sholat 5 waktu kita habiskan sebanyak 50 menit, kurang dari satu jam dari waktu 24 jam yang kita miliki. Itupun seandainya kita tidak mampu melaksanakannya dengan cara-cara yang normal, dengan berdiri rukuk, sujud dan duduk, kita diperkenankan melaksanakannya dengan duduk. Kalau tidak mampu, kita diperkenankan melaksanakannya dengan berbaring. Kalau tidak mampu kita dapat melakukannya dengan gerakan mata. Logika apapun yang kita pakai, cara apapun yang kita punyai pasti akan menyimpulkan hal yang sama bahwa nikmat Alloh yang begitu besar tidaklah sebanding dengan yang kita keluarkan atau lakukan untuk beribadah kepada Alloh. Selain nilainya begitu kecil jika dibandingkan yang kita terima, keringanan dan kemudahannya pun untuk tidak melaksanakannya begitu banyak. Itupun pada hakikatnya ibadah-ibadah yang kita lakukan untuk kepentingan kita sendiri, dan bukan untuk Alloh. Karena Alloh tidak memerlukan zakat kita, sholat kita, sehat kita, makanan kita atau apapun dari kita, karenaAlloh Mahakaya dan Mahamampu sehingga tidak memerlukan apapun dari kita. Sholat kita bukan untuk menolong Alloh, namun untuk menolong diri kita sendiri. Demikian pula dengan zakat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hakikatnya adalah untuk kita sendiri.

Jadi, semua keuntungan dari perniagaan kita dengan Alloh adalah untuk kita semua. Kita umpamakan kalau kita berdagang dengan manusia. Modal pemberian kita dapatkan secara gratis dari seseorang tanpa dikembalikan lagi kepada dia. Kalau ada keuntungan kita hanya diminta menyisihkan sebagian kecilnya saja. Itupun untuk kepentingan kita kalau sewaktu-waktu usaha kita mengalami bangkrut dan merugi, seolah-olah sebagai program asuransi bagi kita. Coba kita lihat betapa beruntungnya pedagang semacam ini. Dan pedagang itu adalah kita. Namun, sayangnya kebanyakan kita tidak menyadari, lalai atau bahkan lupa sama sekali akan ini semua. Betapapun kita hanya diminta menyisihkan 2,5% dari harta kita, masihkah ada ketidakikhlasan mengeluarkannya? Betapapun kita hanya diminta melakukan puasa 1 bulan di antara waktu 12 bulan dalam 1 tahun waktu yang kita miliki, masihkah kita merasa berat melakukannya bahkan kita pun meninggalkannya? Betapapun kita hanya diminta melakukan sholat dalam waktu 5-10 menit dan 50 menit untuk seluruh sholat 5 waktu dari waktu 24 jam yang kita punyai, masihkah kita lebih senang nonton TV daripada menyambut panggilan adzan? Masihkah kita lebih menyukai bantal, guling dan selimut kita saat panggilan sholat shubuh mengiang di telinga kita? Masihkah kita lebih suka melamun atau debat kusir dengan teman kita daripada menyegerakan sholat? Sekali lagi, hanya 10 menit untuk sholat, dan itu tidak mengganggu aktivitas kita yang lain. Karena sungguh inilah keberuntungan kita yang sebenarnya.

Alloh berfirman dalam surah Al-Mu’minun: 1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. 8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. 9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. 10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, 11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. Menjadi orang beriman adalah modal dasar bagi kita menjadi orang yang beruntung, dan jika kita ingin benar-benar beruntung, maka peliharalah sholat kita, zakat kita puasa kita, dan ibadah-ibadah kita lainnya.